Indonesia Butuh Ahli Hadis

ali mustafa ya'kub

Prof Dr KH Ali Mustafa Ya'kub

JAKARTA–Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan sumber daya manusia yang melimpah, Indonesia berpotensi menjadi pusat perkembangan Islam di wilayah Asia. Sayangnya, Indonesia masih miskin dalam jumlah ulama ahli hadis.

Guru Besar Ilmu Hadis dari Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta — dan Penasihat dalam Yayasan Ihya’ Qalbun Salim — , Prof DR KH Ali Mustafa Ya’kub, menjelaskan, saat ini Indonesia membutuhkan ulama yang ahli dalam bidang hadis.

”Kalau calon-calon ahli fikih, insya Allah cukup banyak. Namun, yang benar-benar fokus dan konsentrasi dalam bidang ilmu hadis masih sangat minim,” ujarnya kepada Republika.

Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta ini menambahkan, saat ini sistem pendidikan di Indonesia, termasuk perguruan tinggi Islam, kurang fokus dalam menunjang munculnya para calon-calon ahli hadis. ”Setelah Alquran, fikih, tasawuf, filsafat, dan lainnya, barulah kemudian hadis. Yang ideal, menurut saya, Alquran dan hadis dulu, baru yang lainnya,” kata dia. Karena itulah, lanjut Mustafa, di Indonesia sangat minim orang yang mau mempelajari tafsir dan hadis.

Untuk itu, lanjutnya, harus ada perubahan paradigma dalam memunculkan para ahli hadis ini. ”Dari sekarang, kita harus menyiapkan generasi baru dalam bidang ilmu hadis. Kami sendiri berusaha membangun Pondok Pesantren Darussunnah yang fokus pada bidang ilmu hadis. Insya Allah, pada bulan Juni 2009 mendatang, kami akan mewisuda sekitar 16 orang sarjana ilmu hadis,” ujarnya.

Mustafa menjelaskan, sejak berdiri sekitar tujuh tahun lalu hingga saat ini, Ponpes Darussunnah Pisangan, Ciputat, telah mewisuda sekitar 100 orang. Para santri yang tinggal di ponpes ini ditekankan menghafalkan hadis-hadis sambil mempelajari ilmu-ilmu dari hadis. Misalnya, kedudukan hadis tersebut, kualitasnya, sanadnya, perawinya, matannya, dan lain sebagainya. Tujuannya agar santri mengetahui dan memahami betul, mana hadis sahih dan mana yang lemah.

”Jadi, kita menyiapkan ahli hadis untuk menjelaskan hadis ini dhaif atau tidak. Sehingga, semuanya diharapkan bisa begitu. Jika ada orang menyebutkan, ini hadis bagaimana? Dia bisa mencari. Ada yang tanya, hadis ini sahih atau palsu? Dia bisa menjawab. Apa maksudnya? Dia bisa menerangkan. Itulah targetnya,” tegas Mustafa yang juga wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat ini. (Republika Online, 23 Maret 2009)